#5 Sakit Gigi


Hari itu seperti hari biasanya sampai si Ibun tiba-tiba bilang ke saya, "Gigiku ada yang lepas!" Sambil menunjukkan potongan giginya, si Ibun cerita kalau gigi yang bermasalah itu adalah gigi yang dulu pernah ditambal di Indonesia. Jauh-jauh hari saya memang sudah mewanti-wanti ibun untuk menyelesaikan urusan gigi di Indonesia karena tarif dokter gigi di Melbourne sangat mahal dan tidak dibiayai oleh asuransi standar mahasiswa. Apalah mau dikata, ternyata tambalan tersebut rupanya tidak bertahan lama.

Mulailah kami cari-cari info di Internet tentang apa saja kemungkinan perawatan yang harus dilakukan dan perkiraan biayanya. Ada beberapa perawatan yang mungkin perlu dilakukan, mulai dari ditambal ulang (filling), root canal treatment, atau tooth extraction. Kisaran harganya lumayan juga, mulai dari 150 AUD sampai 1,000 AUD. Wow! Lumayan nih! Kemudian, kami pun mulai mencari info tentang dokter gigi di sekitar kampus yang murah dan direkomendasikan. Ada beberapa alternatif tempat, salah satunya klinik dokter gigi di dalam kampus. Cukup stress juga, mengingat perkiraan biaya yang harus disiapkan, ditambah saat itu sedang dalam proses menulis paper dengan tim di kampus. Di salah satu sesi lembur, saya pun bertanya ke salah satu supervisor tentang rekomendasi dokter gigi. Dia menjawab kalau temannya merekomendasikan Clayton Dental Clinic yang dipimpin oleh dr. Abu Baker. Katanya kualitasnya bagus dengan harga yang reasonable. Saya pun sempat bercanda dengan supervisor, walau namanya Baker (pembuat roti), tapi dia dokter gigi.

Kami pun mencoba untuk menghubungi Clayton Dental Clinic untuk menanyakan perkiraan tarif perawatan gigi di sana. Ternyata, klinik tersebut memberikan gratis konsultasi untuk pasien baru. Alhamdulillah, kami pun mencoba booking di klinik tersebut. Sebagai tambahan informasi, di Melbourne, hampir semua layanan kesehatan seperti dokter umum (General Practitioner/GP) dan dokter gigi harus booking terlebih dahulu. Booking pun tidak boleh sembarangan, karena jika pasien membatalkan tanpa pemberitahuan, bisa dikenakan biaya pembatalan (40-50 AUD).

Hari yang dinantikan tiba. Kami sepasukan lengkap berangkat ke klinik. Kami berangkat sedikit lebih awal untuk mengantisipasi waktu perjalanan. Sesampainya di sana, kami langsung mendaftar dan menunggu di ruang tunggu. Walau belum masuk jam booking kami, ternyata dr. Baker sudah lowong, sehingga si Ibun dipersilakan untuk masuk ruang periksa. Sempat mendengar sekilas kalau untuk melakukan pemeriksaan yang lebih lengkap, gigi si Ibun akan di-rontgen terlebih dahulu.

Menunggu di luar dengan dua anak ternyata tidak mudah juga. Untung mbak resepsionis cukup tanggap dan mengubah channel TV yang ada di sana ke ABC Kids, sehingga anak-anak menjadi sedikit lebih tenang. Tak lama si Ibun keluar dan meminta saya untuk masuk, karena dr. Baker perlu menjelaskan sesuatu. Dr. Baker menyampaikan, untuk mengurangi resiko, gigi si Ibun akan ditambal dengan tambalan sementara dan dievaluasi selama 1 bulan. Jika tidak ada rasa sakit, maka akan diganti dengan tambalan permanen. Biayanya? 195 AUD. Deal! Gigi si Ibun pun ditambal.

Sebulan kemudian, si Ibun bilang bagian gusi di atas giginya kadang terasa sedikit nyeri. Wah, ini sinyal yang kurang bagus. Setelah memperkirakan biaya yang harus disiapkan, kami pun berkunjung lagi ke klinik. Mendengar keluhan si Ibun, dr. Baker pun memberikan dua pilihan, root canal treatment atau tooth extraction. Root canal treatment adalah tindakan menon-aktifkan akar gigi agar gigi yang rusak tidak berdampak pada syaraf. Sedangkan tooth extraction, ya cabut gigi. Harga root canal treatment lebih mahal daripada tooth extraction, 800 AUD atau ~8 juta rupiah. Tidak ingin gigi si Ibun ompong (karena pasang gigi palsu di sini pasti lebih mahal lagi), akhirnya kami pun memutuskan untuk root canal treatment saja. Wah harus lebih hemat lagi nih. Kami pun memastikan ke dr. Baker bahwa biaya tersebut sudah meliputi semuanya, dengan dua kali perawatan masing-masing 400 AUD. Deal lagi. Si Ibun pun mendapat perawatan pertama dan perawatan kedua sebulan kemudian. Alhamdulillah.

Pada perawatan kedua, dr. Baker sempat menyarankan untuk memasang crown pada gigi, supaya giginya tidak rusak lagi. Namun, dia juga mengatakan kalau sementara tidak apa-apa tidak dipasang crown, bisa dipasang di Indonesia kalau sudah pulang nanti. Mengingat harganya yang cukup lumayan, akhirnya untuk sementara kami memutuskan untuk tidak memasang crown dulu. Sabar ya Bun, semoga ada rejeki lagi nanti. Aamiin..

Credits: Photo by Nhia Moua on Unsplash

#4 Imunisasi di Melbourne

Sebelum tiba di Melbourne, Saya sempat bingung perihal imunisasi anak-anak. Kedua anak saya masih balita, sehingga butuh vaksinasi dasar yang dianjurkan oleh Pemerintah Indonesia. Beberapa nakes di Indonesia bilang kalau vaksin yang diberikan akan berbeda. Ada vaksin yang bisa jadi malah tidak diberikan di Australia, tapi kalau di Indonesia malah diwajibkan. Memang betul sih, tapi yang sebenarnya adalah justru vaksinasi di Australia malah lebih beragam.

Anak pertama Saya sudah mendapat imunisasi dasar (program pemerintah) lengkap di Indonesia. Ketika "catatan imunisasi"nya dicocokkan, ada beberapa vaksinasi yang harus dia dapatkan seperti mumps, pnemucocal, meningococcal, dan varicella. Vaksin yang saya sebutkan itu memang terdaftar dalam imunisasi wajib versi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) tahun 2017, namun sepertinya tidak dalam imunisasi dasar versi Pemerintah Indonesia.

Apa sih imunisasi dasar versi pemerintah? Sebenarnya Saya hanya mengikuti panduan dari buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak). Jenis vaksinasi yang harus anak-anak dapatkan, tercatat jelas di sana. Vaksinasi dasar mudah didapat di PUSKESMAS dan RS Pemerintah dengan harga murah. Di PUSKESMAS yang terdekat dengan rumah kami, biaya sekali vaksin hanya lima ribu rupiah saja. Sementara di RS dan klinik swasta bisa mencapai seratus hingga tiga ratus ribu rupiah.

Vaksin yang belum masuk dalam daftar imunisasi dasar/wajib versi pemerintah agak susah didapat. Kalaupun ada bisa jadi akan dikutip dengan harga tinggi. Selama ini Saya pun hanya diarahkan untuk mendapatkan program imunisasi dasar pemerintah saja. Belum pernah ada dokter / bidan yang menyarankan agar Saya mengambil vaksin tambahan di luar program pemerintah, barangkali karena tidak tersedianya vaksin tersebut di institusi mereka.

Syukurlah Saya berkesempatan tinggal di Melbourne sehingga bisa mendapatkan vaksinasi tambahan untuk anak-anak kami. Bagaimana caranya? Apa yang harus disiapkan? Mudah saja. Jika sudah memiliki buku KIA, bawa saja buku tersebut ke klinik terdekat. Kalau kurang yakin dengan buku KIA, buat catatan imunisasi versi bahasa Inggris dengan lebih rapi dan lengkap, misalnya tambahkan keterangan usia dan tanggal imunisasi diberikan. Apakah perlu tanda tangan dokter / bidan? Tidak usah. Catatan yang rapi dan jelas sudah cukup.

Lalu harus kemana? Pergi ke klinik terdekat. Saya pribadi malah menuju ke klinik kampus tempat suami kuliah, Monash UHS (University Health Services). Tanya ke resepsionis di sana tentang bagaimana caranya supaya kita bisa mendapatkan layanan imunisasi. Nanti mereka akan menulis catatan mengenai vaksinasi apa saja yang sudah didapat dan yang belum. Kemudian mereka akan membuatkan janji temu dengan dokter dan suster yang akan memberikan vaksin. Untuk buku panduan imunisasi versi Pemerintah Australia bisa klik di sini.

Selain ke klinik kampus, bisa juga ke klinik tumbuh kembang anak yang dikelola oleh pemerintah negara bagian. Biasanya ada sejenis POSYANDU keliling terjadwal. Di POSYANDU ini akan diselenggarakan vaksinasi bagi anak-anak. Untuk melihat jadwal POSYANDU di negara bagian Victoria bisa klik link ini.

Gratis / bayar? Sama seperti di Indonesia, jika mendapatkan imunisasi di institusi pemerintah akan disubsidi, namun selain itu harus membayar lebih mahal. Kalau di Melbourne sendiri malah gratis jika melakukannya di POSYANDU keliling, dan setahu Saya di luar itu akan dikutip sekitar AUD100 per vaksin. Mahal ya? Hehe. Tapi syukurlah segala jenis imunisasi ditanggung oleh asuransi sehingga hitungannya tetap ga bayar.

Setelah pemberian vaksin apalagi? Biasanya dokter / suster akan memberitahu kapan kita harus datang lagi untuk vaksinasi selanjutnya. Tentu saja kita sendiri harus aktif mencari informasi soal vaksin tanpa harus dipandu.

Selamat vaksin, selamat hidup sehat.

#3 Siap Sabuk Pengaman

Tulisan ini sebenarnya Saya kirim untuk mojok.co, tapi belum diterima sama my luv. Yo wis tak muat di sini saja.

Berkendara di Indonesia, mau tidak mau, harus diakui sebagai hal yang semrawut. Banyak peraturan yang sebenarnya hadir untuk membuat penggunanya aman. Sayangnya sebagian besar masyarakat masih belum sadar sampai bahaya menghampiri. Parahnya lagi, walau pernah terkena atau menjadi saksi atas satu kecelakaan pun masih belum tentu membuat kita-kita ini kapok.

Keluarga saya sebenarnya termasuk yang peduli soal peraturan berlalulintas. Pak Suami cukup keras soal keharusan mengenakan helm kemanapun kami pergi dengan motor demi keamanan, bukan karena takut ditilang polisi. Lain ceritanya ketika berkendara dengan  mobil. Seperti orang kebanyakan, kami hanya mengenakan sabuk pengaman ketika duduk di muka, yang artinya hanya dua penumpang saja. Penumpang yang duduk di kursi belakang seolah tidak wajib mengenakannya. Tidak ada aturan pakem bagaimana seharusnya duduk di belakang, boleh duduk dengan gaya kaku, kaki bersila, dipangku, sampai rebahan. Sabuk pengaman tinggal hiasan.

Anak-anak kami tidak terbiasa mengenakan sabuk pengaman, apalagi mengenal yang namanya infant car seat (kursi penumpang khusus balita yang bisa dilepas-pasang). Kalau naik mobil, mereka terbiasa dipangku. Bahkan anak pertama Saya sering bolak-balik di antara bangku depan dan belakang selama perjalanan. Tidak ada yang melarang anak-anak dengan tegasnya. Kami hanya memaklumi, membolehkan, dan memarahi mereka sebentar. Kami mengabaikan bahwa sabuk pengaman sangat penting untuk setiap penumpang mobil dimanapun mereka duduk, bahkan untuk anak-anak.

Sampai suatu waktu kami pindah ke Melbourne. Selama berada dalam pesawat, anak-anak uring-uringan setiap kali harus memakai sabuk pengaman. Mbak Pramugari sampai selalu mengingatkan Saya dan anak-anak, karena memang cuma kami yang palling ribut soal sabuk. Saya yang biasanya tidak pernah naik pesawat dengan kondisi heboh seperti itu hanya bisa pasrah dan berharap bertahan hingga pesawat sampai tujuan. Ternyata hal ini hanyalah permulaan.

Setibanya di Melbourne kami masih harus berurusan dengan sabuk pengaman. Saya harus berpisah dengan anak-anak begitu duduk di kursi penumpang mobil. Syukurlah Kangmas, si anak pertama yang biasanya jago menangis, anteng saja duduk di infant car seat sambil melihat pemandangan. Sayangnya hal berbeda terjadi pada Adek. Anak saya yang belum genap sepuluh bulan itu menangis sepanjang jalan hingga terbatuk-batuk dan wajahnya memerah. Saya tidak dapat berbuat apa-apa, karena kalau permintaan si anak dituruti, bisa jadi Saya kena denda jutaan rupiah.

Melbourne adalah salah satu kota dengan peraturan lalu lintas yang ketat. Hampir tidak ada yang bisa menghindar dari hukuman jika melanggar. Salah ya salah, kena denda ya kena denda. Termasuk masalah sabuk pengaman tadi.

Menurut vicroads.vic.gov.au,situs informasi tentang peraturan lalu lintas di negara bagian Victoria, setiap penumpang dalam mobil wajib mengenakan sabuk pengaman, termasuk bayi sekalipun. Untuk penumpang bayi hingga anak berusia 7 tahun dapat mengenakan infant car seat. Untuk mereka yang berusia lebih tua dapat mengenakan sabuk pengaman yang tersedia dalam mobil. Jikalau melanggar, siap-siap saja untuk terkena denda sebesar 322 AUD (sekitar tiga juta rupiah) atau lebih. Kenakan sabuk pengaman dengan benar ya, jangan asal tempel. Seorang teman pernah terkena denda 400 AUD hanya karena anak balitanya tidak terikat sabuk dengan kencang. Si teman bilang kalau setelah itu dia jadi ngga enak makan karena harus mengeluarkan uang empat juta rupiah. Ya jelaslah pahit rasanya!

Jadi Saya punya usul untuk kalian yang akan mengunjungi di Melbourne dan kota lain yang memiliki peraturan lalu lintas yang ketat. Pertama, pelajari peraturan lalu lintas di kota terkait. Meskipun sama secara umum, namun terkadang ada peraturan dengan kisaran denda yang berbeda tergantung kebijakan pemerintahnya. Lalu kalian bilang gini, “Aku ngga akan naik mobil. Aku hanya akan naik angkutan umum atau jalan kaki.” Hey, hal ini tidak hanya berlaku untuk pengguna kendaraan lho, tapi juga pejalan kaki. Setiap orang yang melanggar lalu lintas pasti akan terkena denda termasuk pejalan kaki yang suka menyeberang sembarangan.

Kedua, bagi yang berencana mengendarai mobil, ingat sabuk pengaman bagi semua penumpang tanpa pengecualian. Kalau anak belum terbiasa dengan sabuk pengaman bagaimana? Berikan mainan atau video kesukaannya selama ia terikat dengan tali sabuk. Kalau nangis sepanjang perjalanan, harus tahan kuping dan perasaan sampai tujuan. Ya mau ngga mau harus mau sih, daripada kena denda yang  bikin ngga enak makan.

Ketiga, ingat pepatah di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jangan sampai kejumawaan membuat kita tidak mau disiplin di negeri orang. Bersikaplah yang baik agar bangsa lain menghargai kita dengan baik pula.

Lalu ada yang berkomentar begini, “Saya ngga akan pergi kemana-mana ini, ngga perlu juga repot-repot belajar rambu-rambu sampai segitunya.” Ya ngga boleh seenaknya juga sih, mentang-mentang lalu lintas di kampung kita ngga terlalu ketat. Eh tapi terserah sih, Saya ngga harus ngurusin orang lain kan? Begini saja, tertibnya berlalulintas dihasilkan dari pengguna jalan yang bertanggung jawab. Ada yang ngga setuju? Ya sudah hehe.

Balik lagi ke sabuk pengaman. Meskipun termasuk yang jarang mengenakannya, Saya mengakui sabuk pengaman adalah salah satu hal efektif untuk mencegah kecelakaan. Dahi si Kangmas pernah terluka karena terbentur dashboard ketika ia duduk di kursi depan mobil. Lukanya berdarah sedikit, namun butuh dua minggu untuk benar-benar menyembuhkannya. Setelah sembuh pun masih tersisa bekas luka berwarna putih.

Itulah sedikit pengalaman yang Saya dapatkan. Mari sama-sama belajar tertib berlalulintas. Selamat liburan, selamat dan aman dalam berkendara!

#2 Momok Masak


Selama puluhan tahun hidup di Indonesia, sejak lahir hingga menjadi orang tua sekarang ini, Saya hampir tidak pernah memasak. Ketika kecil, Saya selalu dimanjakan dengan masakan jadi, entah beli di warung atau masakan orang tua. Yah, apalagi kalau tinggal di kota yang padat penduduk, makanan gampang dibeli di manapun dengan harga yang terkadang jauh lebih terjangkau daripada masak sendiri.

Bagi Saya, memasak adalah tugas Ibu atau orang yang lebih tua. Anak kecil tidak wajib memasak. Ketika membantu di dapur pun jarang sekali pujian yang didapatkan anak-anak sehingga pada akhirnya mereka tidak menyukai kegiatan ini.

Masalah datang ketika Saya menikah dan menjadi orang tua. Saya harus belajar memasak secara otodidak yang jujur saja jarang dilakukan. Keberadaan warung makan murah selalu menyelamatkan Saya dan membuat bahan makanan banyak terbuang karena layu, karena lama tidak dimasak.

Itu tadi di Indonesia. Situasi berubah lagi ketika Saya ikut suami merantau ke Melbourne. Kami tidak lagi bisa dengan mudahnya membeli masakan matang, karena kami harus berhemat. Harga masakan jadi selalu lebih mahal puluhan kali lipat dibandingkan masak sendiri. Akhirnya Saya memasak karena "keterpaksaan". Saya belajar karena kondisi yang "tertekan".  Tidak ada lagi tukang bakso atau jajanan lainnya yang biasa keliling kampung. Pada akhirnya Saya belajar membuat main course hingga dessert.

Apakah Saya benar-benar tertekan? Situasinya memang menekan, tapi Saya jalani dengan bahagia. Saya malah sangat gembira saat mengetahui akan memiliki kompor tiga fungsi seperti gambar di atas: stove, grill, dan oven. Akhirnya saya bisa juga praktek bikin kue!! Di Indonesia kue bisa dibeli dengan harga murah dan rasanya juga enak, sangat memanjakan pokoknya. Di perantauan tidak bisa begitu, namun Saya senang karena itu jadi bisa belajar. Saya melihat hal ini sebagai kesempatan emas. Masak tidak akan pernah lagi menjadi momok.

#1 Melbourne


Melbourne, Victoria, Australia.

Kami sekeluarga pindah ke pinggiran dari kota ini. Kota yang tenang dan cantik, dengan udara yang bersih. Semoga beberapa tahun ke depan akan menjadi pengalaman yang menyenangkan.